Bab
I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Sejak langkah pertama pendiriannya, bank-bank
syariah telah menunjukkan trend perkembangan yang positif sehingga dapat
memainkah peranan pentingnya dalam memobilisasi, mengalokasi, dan memanfaatkan
sumber daya dengan lebih baik. Salah satu faktor pendukung yang menunjang trend
positif ini adalah pembagian hasil usaha dalam pembiayaan yang menggunakan
konsep profit sharing dan revenue sharing dengan akad mudharabah, meski pada
awalnya konsep ini tidak begitu luas dimengerti oleh masyarakat. Profit sharing
dan revenue sharing merupakan pembagian hasil usaha dengan ketentuan nisbah
pihak penyalur dana dan penerima dana usaha. Sehingga besarnya pembagian
dipengaruhi oleh hasil usaha yang dijalani.
Konsep profit sharing atau yang juga disebut dengan
profit and loss sharing menawarkan pembagian hasil usaha dengan perhitungan
pendapatan/keuntungan bersih (net profit), yaitu laba kotor dikurangi beban
biaya yang dikeluarkan selama operasional usaha. Sedangkan konsep revenue
sharing adalah konsep yang menawarkan pembagian hasil usaha berdasarkan perhitungan
laba kotor (gross profit).
Kosep inilah yang membedakannya dengan bank-bank
konvensional yang menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi agar dapat menarik
minat masyarakat menabungkan uangnya di bank. Besarnya bunga dalam pembagian
hasil usaha ditetapkan pada awal perjanjian kerjasama dengan keuntungan yang
pasti bagi investor. Bahkan meski kreditur mengalami kerugian dalam usahanya,
investor tetap mendapatkan bunga yang disepakati sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat
diketahui bahwa konsep bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah dan
konvensional memiliki perbedaan dalam keuntungan yang diperoleh dalam
pembiayaan/investasi usaha produktif yang dikembangkan kreditur. Profit sharing
dan revenue sharing merupakan pengganti bunga dalam perbankan konvensional.
Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank
syariah juga menawarkan nasabah dengan produk perbankan. Hanya saja bedanya
dengan bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga
jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat
Islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.
Bukan hal yang berlebihan bila, misalnya bank
islam menawarkan produk-produk bank
syariah yang tentunya beroprasi berdasarkan pada nilai etika syariah.
Oleh karena itu, dalam pembahan kali ini pemakalah
akan mencoba menguraikan beberapa produk-produk dalam perbankan syariah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
produk penghimpunan dana dalam perbankan syariah?
2. Bagaimanakah
produk penyaluran dana dalam perbankan syariah?
3. Bagaimanakah
produk pelayanan jasa dalam perbankan syariah
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa saja produk penghimpunan dana dalam perbankan syariah
2. Untuk
mengetahui apa saja penyaluran dana
dalam perbankan syariah
3. Untuk
mengetahui apa saja pelayanan jasa dalam perbankan syariah
Bab
II
Pembahasan
A. Penghimpunan Dana
1. Mudhorobah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha
antara pemilik modal dan pengelola usaha untuk melakukan kegiatan usaha, laba
dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak,
sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik modal kecuali
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan pengelola usaha.
Akad mudharabah merupakan suatu
transaksi pendanaan atau investasi yang berdasarkan kepercayaan, yaitu
kepercayaan dari pemilik modal kepada pengelola usaha. Kepercayaan ini penting
dalam akad mudharabah karena pemilik modal tidak boleh ikut campur dalam
manajemen perusahaan atau proyek yang dibiayai dengan pemilik modal tersebut,
kecuali sebatas memberikan saran dan melakukan pengawasan pada pengelola usaha.
Dalam mudharabah, pemilik modal tidak
boleh mengisyaratkan sejumlah tertentu untuk bagiannya karen a dapat
dipersamakan dengan riba yaitu meminta kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor
penyeimbang yang diperbolehkan syariah.
Keuntungan yang dibagikan pun tidak
boleh menggunakan nilai proyeksi , akan tetapi harus menggunakan nilai
realisasi keuntungan yang mengacu pada laporan hasil usaha yang secara periodik
disusun oleh pengelola usaha dan diserahkan kepada pemilik modal.[1]
Menurut
ijmal ulama, mudharabah hukumnya jaiz (boleh). Mudharabah telah dipraktikkan
secara luas oleh orang-orang sebelum masa islam dan beberapa sahabat Nabi
Muhammad saw. Jenis bisnis ini sangat bermanfaat dan sangat selaras dengan
prinsip ajaran syariah, oleh karena itu masih tetap ada di dalam sistem islam.
Mudharabah di bagi menjadi 3 jenis,
diantaranya:
1. Mudharabah
muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah jenis
mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola usaha
dalam mengelola investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak
terikat. Jenis mudharabah ini tidak ditentukan masa erlakunya, didaerah mana
usaha tersebut akan dilakukan. Namun, kebebasan ini bukan kebebasan yang tak
terbatas sama sekali. Modal yang ditanamkan tetap tidak boleh digunakan untuk
membiayai proyek atau investasi yang dilarang islam.
2. Mudharabah
Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah adalah jenis
mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain
mengenai dana, lokasi, cara dan objek investasi atau sektor usaha. Apabila
pengelola dana bertindak bertentangan dengan syarat-syarat yang diberikan oleh
pemilik dana, maka pengelola dana harus bertanggung jawab atas
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya, termasuk konsekuensi keuangan.
3. Mudharabah
Musytarakah
Mudharabah musytarakah adalah jenis
mudhrabah dimana pengelola dana menyertakan modal dana nya dalam kerja sama
investasi. Di awal kerja sama, akad ynag disepakati adalah akad mudharabah
dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan
pertimbangan tertentu dengan kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola dana
ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut. Jenis mudharabah seperti ini
adalah perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah (syirkah).
Rukun mudharabah
Rukun dari akad mudharabah ada empat,
yaitu:
a) Pelaku, terdiri atas: pemilik dana dan
pengelola dana
b) Objek
mudharabah, berupa: modal dan kerja
c) Ijab
kabul / serah terima
d) Nisbah
keuntungan
2. Wadi’ah
Secara etimologis, kata wadi’ah berasal
dari kata wada’a asy-syai’ jika ia meninggalkannya pada orang yang menerima
titipan. Adapun wadi’ah secara terminologis, yaitu pemberian kuasa oleh penitip
kepada orang yang menjaga hartanya tanpa konpensasi (ganti)[2]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
wadiah adalah Wadiah yaitu akad titipan
di mana barang yang dititipkan dapat diambil
sewaktu-waktu. Pihak yang menerima titipan
dapat meminta jasa untuk
keamanan dan pemeliharaan.[3]
Rukun wadi’ah
a. Muwaddi/
penitip
b. Mustauda/
penerima titipan
c. Wadiah
bih/ harta titipan
d. Akad
Pembagian Wadi’ah
Secara umum terdapat dua jenis wadiah,
yaitu:
a. Wadiah
yad al-amanah
Wadiah jenis in memiliki karakteristik
sebagai berikut:
·
Harta atau barang yang dititipkan tidak
boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan
·
Penerima titipan hanya brfungsi sebagai
penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang
dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya
·
Sebagai kompensasi, penerima titipan
diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan
·
Mengingatkan barang atau harta yang
dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan
yang memungkinkan untuk jenis in adalah jasa penitipan
b. Wadiah
yad adh-dhamanah
Wadiah jenis ini memiliki karakteristik
sebagai berikut:
·
Harta dan barang yang dititipkan boleh
dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan
·
Karena dimanfaatkan, barang dan harta
yang yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun
demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil
manfaat kepada si penitip
·
Produk perbankan yang sesuai dengan akad
ini.
Prinsip
wadiah yad dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia
perbankan syariah dalam bentuk produk-produk pendanaan yaitu:
a.
Giro (Current Account) wadiah.
b.
Tabungan (Saving Account) wadiah.
B.
Penyaluran
Dana
1.
Jual Beli
a.
Murabahah
Jual
beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada
pihak lain yang telah mengajukan permohonanpembelian terhadap suatu barang
dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.
Pembayaran
murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Harga yang disepakati
dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan.[4]
Jenis-jenis murabahah
1) Murabahah
berdasarkan Pesanan
Dalam murabahah jenis ini, penjual
melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan
pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli
barang yang dipesannya. Murabahah yang bersifat mengikat berarti pembeli harus
membeli barang yang dipesannya dan tidak
bisa membatalkan pesanannya. Adapun murabahah yang bersifat tidak mengikat
walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka
pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
2) Murabahah
Tanpa Pesanan
Murabahah jenis ini termasuk jenis
murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat
ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh
penjual.
Rukun dan Ketentuan Murabahah
·
Pelaku
Pelaku harus cakap
hukum dan balig (berakal dan dapat membedakan), sehingga jual beli dengan orang
gila menjadi tidak sah sedangkan jual
beli dengan anak kecil dianggap sah apabila seizin walinya.
·
Objek jual beli harus memenuhi:
-
Barang yang diperjualbelikan adalah
barang halal
-
Barang yang di perjual belikan harus
bermanfaat
-
Barang tersebut dimiliki oleh penjual
-
Barang yang diperjual belikan harus
jelas spesifikasinya
-
Barang harus diketahui kuantitas dan
kualitasnya
-
Harga barang harus jelas
-
Barang yang di akadkan ada ditangan
penjual
·
Ijab kabul
Penyataan rida/rela
diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis melalui
korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern. Apabila jual beli
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah maka kepemilikannnya,
pembayarannya, dan pemanfaatannnya atas barang yang diperjualbelikan menjadi
halal. Demikian sebaliknya.
b.
Salam
Salam berasal dari kata As salaf yang
artinya pendahuluan karena pemesan barang menyerahkan uang dimuka. Akad salam
dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli dimana barang yang
diperjual belikan belum ada ketika transaksi dilakukan, dan pembeli melakukan
pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan dikemudian hari.[5]
Menurut Kompilsi Hukum Ekonomi Syariah,
salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang
pembiayaannnya dilakukan dengan pemesanan barang[6]
Manfaat
transaksi salam bagi pihak pembeli adalah adanya jaminan memperoleh barang
dalam jumlah dan kualitas tertentu pada saat ia membutuhkan dengan harga yang
disepakatinya di awal. Sementara manfaat bagi si penjual adalah diperolehnya
dana untuk melakukan aktivitas produksi dan memenuhi sebagian kebutuhan
hidupnya.
Dalam akad salam, harga barang pesanan
yang sudah disepakati tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Apabila
barang yang dikirim tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati
sebelumnya, maka pembeli boleh melakukan khiar yaitu memilih apakah transaksi
dilanjutkan atau dibatalkan. Untuk menghindari risiko yang merugikan, pembeli
boleh meminta jaminan dari penjual.
Salam
paralel artinya melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesan pembeli
dan penjual serta antara penjual dengan pemasok atau pihak ketiga lainnya.
Rukun dan Ketentuan Salam
A) Pelaku
adalah cakap hukum dan balig
B) Objek
akad:
a) Ketentuan
yang terkait modal salam
·
Harus diketahui jenis dan jumlahnya
·
Berbentuk uang tunai
·
Diserahkan ketika akad berlangsung
b) Ketentuan
barang salam:
·
Mempunyai spesifikasi yang jelas
·
Harus dapat ditakar
·
Waktu dan tempat penyerahan barang harus
ditetapkan berdasarkan kesepakatan
·
Barang tidak harus ada ditangan penjual
tapi harus ada pada saat waktu yang ditentukan.
·
Apabila barang tidak ada pada waktu yang
telah ditentukan maka akad nya menjadi rusak
c) Ijab
kabul
Adalah penyertaan dan
ekspresi saling rida/rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan
secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
c.
Istishna
Menurut
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah istishna adalah jual beli barang atau jasa
dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pihak pemesan dan pihak penjual.[7]
Istishna menurut fukaha adalah
pengembangan dari sala, dan diizinkan secara syariah berdasarkan dalil dari
alquran dan hadis serta kesepakatan kaum muslimin.
Istishna adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli) dan penjual (pembuat).
Istishna dapat dilakukan secara langsung antar dua belah pihak antar pemesan
dengan penjual. Apabila dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan
istishna paralel.
Walaupun istishna adalah akad jual beli,
tetapi memiliki perbedaan dengan salam maupun dengan murabahah. Istishna lebih
dititikberatkan pada kontrak pengadaan barang yang ditangguhkan dan dapat
dibayarkan secara tangguh pula.[8]
Dalam istishna paralel penjual dapat
membuat akad istishna kedua dengan subkontaktor untuk membantunya memenuhi
kewajiban akad istishna pertama (antara penjual dan pemesan) pihak yang
bertanggung jawab pada pemesan tetap terletak pada penjual tidak dapat
dialihkan pada subkontraktor. Meskipun proses pengerjaan dilakukan oleh
subkontraktor, penjual tetap bertanggung jawab atas hasil kerja subkontraktor.
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas jumlah yang
telah dibayarkan, penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat
waktu.
Rukun dan Ketentuan Istishna
a) Transaktor
Terdiri
atas pembeli dan penjual. Kedua transaktor diisyaratkan memiliki kompetensi
berupa akil balig dan kemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak
sedang dipaksa, dll.
b) Objek
istishna
Objek
istishna harus jelas spesifikasinya, penyerahannya dilakukan kemudian, waktu
dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, pembeli
tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya, tidak boleh menukar barang,
kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan, dan memerlukan proses
pembuatan setelah akad disepakati, serta barang yang diserahkan harus sesuai
dengan spesifikasi pemesan, bukan barang masal.
c) Ijab
kabul
Ijab
kabul istishna merupakan pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
dengan cara penawaran dari penjual (bank syariah) dan penerimaan yang
dinyatakan oleh pembeli(nasabah).
2. Sewa
Pembiayaan dengan prinsip sewa ditujukan
untuk mendapatkan jasa, dimana keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi
bagian harga atas barang atau jasa yang disewakan. Namun dalam beberapa kasus
prinsip sewadapat pula disertai dengan opsi kepemilikan[9]
Yang
termasuk dalam kategori sewa adalah
ü Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak
guna(manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu dengan
pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang
itu sendiri[10].
Ijarah dimaksudkan untuk mengambil
manfaat atas barang atau jasa dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak
ijarah (pemilikan manfaat) seperti manfaat yang berasal dari aset seperti rumah
untuk ditempati, mobil untuk dikendarai atau manfaat yang berasal dari karya
seseorang seperti hasil karya seorang insinyur bangunan,tukang tenun, pekerja
bangunan, penjahit, dll. Dan manfaat yang be rasal dari skill/keahlian individu
seperti pekerja kantor, pembantu rumah tangga, dll.
Akad ijarah mewajibkan pemberi sewa
untuk menyediakan aset yang dapat digunakan atau dapat diambil manfaat darinya
selam periode akad dan memberikan hak kepada pemberi sewa untuk menerima upah
sewa. Apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan penurunan nilai kegunaan
dari aset yang disewakan dan bukan disebabkan kelalaian penyewa, pemberi sewa
berkewajiban menanggung biaya pemeliharaannya selama periode akad atau
menggantinya dengan aset yang sejenis.
Pengalihan kontrak atau aset yang disewa
kemudian disewakan kembali pada pihak lain boleh dilakukan baik dengan harga
sama, lebih tinggi atau lebih rendah asalkan pemberi sewa mengizinkannya.
Pembayaran sewa dapat dibayar dimuka,
ditangguhkan ataupun diangsur sesuai kesepakatan antara pemberi sewa dan
penyewa. Apabila yang disepakati adalah pembayaran tangguh dan terjadi
penundaan pembayaran akibat penyewa lalai, maka dapat dikenakan denda yang akan
digunakan sebagai dana kebajikan.
Jenis-jenis Ijarah
1) Berdasarkan
objek yang disewakan
Dibagi menjadi dua yaitu:
·
Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset
atau properti,yaitu memindahkan hak untuk memakai atau properti tertentu kepada
orang lain dengan imbalan biaya sewa.
·
Ijarah yang berhubungan dengan sewa
jasa, yaitu mempekerjakan seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang
disewa.
Perpindahan
kepemilikan dapat dilakukan melalui:
§ Hibah
§ Penjualan,
dimana harga harus disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad penjualan
§ Jual
dan sewa kembali (sale and lease back) atau transaksi jual dan ijarah. Jenis
ijarah seperti ini terjadi dimana seorang menjual asetnya kepada pihak lain dan
menyewakembali aset tersebut.transaksi jual dan sewa kembali harus merupakan
transaksi terpisah dan tidak saling bergantung sehingga harga jual harus
dilakukan pada nilai wajar dan penjual akan mengakui keuntungan atau keutungan
pada periode terjadinya penjualan dalam laporan laba rugi.
Rukun Ijaroh
·
Pelaku yang terdiri atas pemberi sewa
dan penyewa
·
Objek akad berupa manfaat aset dan
pembayaran sewa atau manfaat jasa dan pembayaran upah
·
Ijab kabul/serah terima
ü Ijarah
Muntahiyah Bittamlik
Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad
sewa-menyewa antar pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan
atas abjek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa
pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.
Perpindahan hak milik objek sewa kepada
penyewa dalam ijarah muntahiyah bittamlik dapat dilakukan dengan:
a. Hibah
b. Penjualan
sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa
c. Penjualan
pada akhir masa sewa denga pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad
d. Penjualan
secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dan tercantumdalam akad.
e. Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang ang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa.
Pemilik objek sewa dapat meminta penyewa
menyerahkan jaminan atas ijarah untuk menghindari resiko kerugian. jumlah,
ukuran, dan jenis objek sewa harus jelas diketahui dan tercantum dalam
akad.
3. Akad
Pelengkap
Pembiayaan dengan akad pelengkap
ditujukan untuk memperlancar pembiayaan dengan menggunakan tiga prinsip diatas.
Berikut akad pelengkap tersebut:
1. Hawalah
Merupakan pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata
lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Dalam dunia
keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring
Rukun dan syarat hawalah
Rukun
hawalah/pemindahan utang terdiri atas:
·
Peminjam
·
Pemberi pinjaman
·
Penerima hawalah
·
Utang
·
Akad
Syarat Hawalah
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah adlah
sebagai berikut[11]:
a. Para
pihak yang melakukan akad hawalah/pemindahan utang harus memiliki kecakapan
hukum
b. Peminjaman
harus memberitahu kepada pemberi pinjaman bahwa ia akan memindahkan utangnya
kepada pihak lain
c. Persetujuan
pemberi pinjaman mengenai pinjaman mengenai rencana peminjam untuk memindahkan
utang adalah syarat diperbolehkannya akad hawalah.
2. Rahn
(gadai)
Gadai adalah perjanjian
(akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga
sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara
orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
Syarat dan Rukun Gadai
a.
Syarat
gadai:
·
Sehat fikirannya
·
Dewasa, baligh
·
Barang yang digadaikan
telah ada di waktu gadai
·
Barang gadai bisa
diserahkan/dipegang oleh penggadai
b.
Rukun gadai:
·
Orang yang
menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
·
Orang yang menerima
barang gadai (murtahin)
·
Barang yang dijadikan
jaminan(borg/marhun).
·
Akad(ijab dan qobul)
·
Adanya hutang yang
dimiliki oleh penggadai.
3.
Qardh
Qardh
adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.[12]
Rukun Qardh
1) pelaku
(muqridh
dan muqtaridh)
2) objek
(uang atau barang)
3) shighat
(ijab dan qabul).
4. Wakalah
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan
atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain.
Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi
mandat.[13]
Syarat dan Rukun wakalah
a) Syarat
muwakil (yang mewakilkan)
Pemilik sah yang dapat bertindak
terhadap sesuatu yang diwakilkan
b) Syarat
wakil (yang mewakili)
Cakap hukum, dapat mengerjakan
tugas yang diwakilkan kepadanya.
c) Hal-hal
yang diwakilkan
Diketahui dengan jelas oleh orang
yang mewakili, tidak bertentangan dengan syariah islam, dapat diwakailkan
menurut syariah islam
5. Kafalah
Al-Kafalah merupakan jaminan yang
diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab
dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam
hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.[14]
Rukun dan syarat kafalah
a) Pihak
penjamin
Balig dan berakal sehat, berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela dengan
tanggungan kafalah tersebut.
b) Pihak
orang yang berhutang
Sanggu menyerahkan tanggungannya
kepada penjamin,dan dikenal oleh penjamin.
c) Pihak
orang yang berpiutang
Diketahui identitasnya, dapat hadir
pada waktu akad atau memberikan kuasa.
d) Objek
penjamin
Merupakan tanggungan pihak/orang
yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
C.
Pelayanan
Jasa
Selain
menjalankan fungsinya sebagai penghubung antara pihak yang kelebihan dana dan
kekurangan dana, bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa
perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan.
Jasa perbankan tersebut antara lain berupa[15]:
1. Sharf
(valuta asing)
Pada prinsipnya
jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf . jual beli mata uang yang
tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama. Bank
mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini. Prinsip ini dipraktikan
pada bank syariah devisa yang memiliki ijin untuk melakukan jual beli valuta
asing.
o
Dasar hukum sharf
Dari
Abu Hurairah dari nabi SAW, bersabda: “(boleh menjual) emas dengan emas dengan
setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding.” (H.R. Ahmad,
Muslim, & Nasa’i)
Rukun sharf:
a. Penjual
b. Pembeli
c. Mata
uang yang diperjualbelikan(sharf)
d. Nilaitukar
(si’rus sharf)
e. Ijab
kabul
2. Wadi’ah
Jenis produk jasa tambahan yang dapat diterapkan
adalah wadiah, namun wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad al-amanah.
Aplikasi perbankan wadiah yad al-amanah adalah penyewaan kotak simpanan sebagai
sarana penitipan barang berharga nasabah. Bank mendapat imbalan dari sewa
tersebut.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Perbankan syariah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan
menyalurkan dana. Oleh sebab itu bank syariah membutuhkan sumber-sumber dana
yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana dibank syariah antara lain adalah
modal, titipan dan investasi. Sama seperti halnya dengan bank
konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan produk perbankan.
Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga,
baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Adapun produk-produk yang ditawarkan
seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, rahn, dsb. Produk-produk yang
ditawarkan sudah tentu sangat Islami, termasuk dalam memberikan pelayanan
kepada nasabahnya
B.
Saran
Dengan demikian makalah ini penulis buat. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini banyak kekurangan terutama dalam segi penulisan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk lebih baik lagi
dalam penulisan makalah yang selanjutnya.
[1] Kautsar
riza salman, Akuntansi perbankan syariah, (padang:Akademia Permata, 2012),
hal.219.
[2] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013), hal.282.
[3] M. Nur
Rianto, Dasar-dasar pemasaran bank syariah, (bandung: alfabeta, 2012), hal.36.
[4] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013), hal. 136
[5]Kautsar
Riza Salman, Akuntansi Perbankan Syariah, (padang:Akademia Permata, 2012), hal.
173
[6] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013), hal.113.
[7] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013), hal.124.
[8] Kautsar
Riza Salman, Akuntansi perbankan syariah, (padang:Akademia Permata, 2012), hal.
199.
[9] M. Nur
Rianto Al Arif, Dasar-dasar Pemasaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 46.
[10] Kautsar
Riza Salman, Akuntansi perbankan syariah, (padang:Akademia Permata, 2012), hal.
270.
[11]
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013),
hal.268.
[12]
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013),
hal.334.
[13]
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (jakarta: kencana prenadamedia group,2013),
hal.300.
[14] M. Nur
Rianto Al Arif, dasar-dasar pemasaran, (Bandung:Alfabeta, 2012, hal. 57.
[15] M. Nur
Rianto Al Arif, Dasar-dasar pemasaran, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 58.
0 komentar:
Posting Komentar